Senin | 6 Oktober 2025
Belum genap sebulan menjabat, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah mengguncang jagat ekonomi dan birokrasi Indonesia.
Dengan gaya bicara yang blak-blakan, tajam, dan tanpa tedeng aling-aling, mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menjadi sorotan publik sejak detik pertama ia dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (8/9/2025).
Langkah-langkah awal Purbaya langsung menandai perubahan arah di Kementerian Keuangan. Ia melakukan audit internal menyeluruh terhadap sejumlah direktorat strategis, termasuk Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, yang selama ini kerap dikritik karena praktik birokrasi yang tidak efisien dan rawan korupsi. Di hadapan para pejabat eselon, ia menegaskan tidak akan menoleransi “mental pegawai masa lalu” yang lebih sibuk menjaga posisi daripada bekerja untuk negara.
Dalam urusan pajak dan kepabeanan, Purbaya tampil tegas, keras, dan tanpa kompromi. Ia menekankan tak akan memberi ampun kepada wajib pajak besar yang menunggak miliaran hingga triliunan rupiah, termasuk korporasi besar yang selama ini dianggap “terlalu kuat untuk disentuh.”
“Dalam waktu dekat akan kami tagih, dan mereka enggak akan bisa lari,”
tegasnya, dikutip dari Kompas.com (23/9/2025).
Pernyataan itu menjadi semacam stempel moral atas kiprah Purbaya—bahwa ketegasan dan kejujuran masih punya tempat di panggung kekuasaan. Publik pun melihatnya sebagai sosok yang berani “menabrak tembok” dan mengembalikan makna pelayanan publik di sektor keuangan.
Gebrakan Purbaya tidak hanya di bidang penegakan hukum pajak. Ia juga berencana merombak sistem insentif fiskal agar lebih berpihak pada industri produktif dan UMKM, bukan hanya kelompok usaha besar yang selama ini menikmati fasilitas pajak. Dalam beberapa kesempatan, ia menyebut akan memperkuat digitalisasi penerimaan negara serta membuka akses data lintas kementerian untuk mencegah praktik penghindaran pajak.
Langkah cepat dan gaya komunikasinya yang lugas membuatnya menuai reaksi beragam. Di satu sisi, kalangan pelaku usaha menilai kebijakannya terlalu frontal dan bisa menimbulkan ketegangan dengan dunia bisnis. Namun di sisi lain, banyak pihak menganggap Purbaya sebagai angin segar di tengah stagnasi birokrasi fiskal, sosok teknokrat yang berani menantang status quo.
Dalam waktu singkat, Purbaya bukan sekadar menteri baru, tetapi simbol perlawanan terhadap kemapanan birokrasi lama yang lamban, kompromistis, dan sering kali berjarak dengan kepentingan publik. Kini, publik menanti dengan harap dan cemas:
apakah gebrakan ini akan menjadi awal dari reformasi fiskal besar-besaran, atau justru menjadi ujian berat bagi sosok Menkeu yang baru mulai menyalakan bara perubahan di jantung keuangan negara?


