Senin | 4 Agustus 2025
Jakarta – Keputusan kontroversial Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada mantan Kepala BKPM dan tokoh ekonomi, Thomas “Tom” Lembong, serta amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, pada Kamis, 31 Juli 2025, memicu gelombang kritik dari berbagai elemen masyarakat. Keputusan ini dianggap keliru, terutama karena kedua tokoh tersebut tersangkut kasus korupsi, yang menurut para pakar hukum seharusnya diselesaikan melalui jalur yudisial, bukan politik.
Abolisi dan Amnesti Dinilai Tidak Tepat
Guru Besar Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, secara tegas menilai bahwa langkah Presiden Prabowo tidak sejalan dengan semangat penegakan hukum. Ia menekankan bahwa kasus korupsi bukanlah perkara politik yang bisa diselesaikan melalui instrumen pengampunan seperti amnesti atau abolisi.
“Kasus ini kan kasus hukum. Apakah ini kasus politik? Kalau iya, berarti suatu keputusan yang luar biasa oleh presiden. Harusnya besok-besok juga ada suatu bentuk yang lain kalau memang politik,” ujar Hibnu saat diwawancarai Tempo, Jumat, 1 Agustus 2025.
Menurutnya, amnesti atau abolisi lebih tepat diberikan kepada pelaku pelanggaran hukum dengan latar belakang politik atau ideologis, misalnya terhadap narapidana Undang-Undang ITE yang dijerat karena mengkritik pemerintah atau aktivis Papua yang dituduh makar tanpa kekerasan.
Kendati demikian, Hibnu tidak menafikan hak prerogatif presiden yang secara konstitusional sah untuk mengambil keputusan tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa keputusan seperti ini akan menyisakan pertanyaan besar terkait motivasi politik di baliknya.
“Ini akan menimbulkan persepsi utang budi politik. Secara tidak langsung, Hasto dan Tom menjadi orang-orang yang punya utang politik kepada negara atau bahkan kepada presiden.”
Langkah Politik Pasca-Pemilu
Pandangan senada juga disampaikan oleh Chudry Sitompul, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia. Ia mengkaitkan keputusan ini dengan situasi politik nasional pasca-Pemilu 2024 yang cukup memanas.
“Pak Prabowo ingin menunjukkan bahwa dia adalah pemimpin untuk semua. Dengan pengampunan ini, ia ingin meredam eskalasi politik dan mencegah fragmentasi kekuasaan yang berkepanjangan,” ujarnya.
Chudry menjelaskan bahwa pemberian abolisi kepada Tom Lembong dimungkinkan secara hukum karena putusan pengadilannya belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sedangkan Hasto sudah divonis dan hukumannya final, sehingga hanya bisa diberi amnesti. Namun, menurutnya, pemberian pengampunan ini lebih bernuansa rekonsiliasi politik daripada murni pertimbangan yuridis.
BEM SI: Demokrasi Dikebiri dan Oposisi Dijinakkan
Lebih keras lagi, kritik datang dari kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Koordinator Pusat BEM SI, Muzammil Ihsan, menuding keputusan ini sebagai bagian dari strategi besar konsolidasi kekuasaan yang merugikan demokrasi.
“Ini adalah bentuk rekonsiliasi politik besar-besaran yang dijalankan dalam kerangka membangun stabilitas, tapi dengan mengorbankan nilai keadilan dan demokrasi,” ujar Muzammil.
Menurutnya, langkah ini mempersempit ruang kontrol publik dan memperkuat indikasi munculnya oligarki politik, di mana elite kekuasaan saling mengamankan satu sama lain demi kepentingan jangka panjang.
“Kekuasaan yang tidak diawasi secara kritis berpotensi menimbulkan oligarki baru yang membahayakan masa depan demokrasi Indonesia.”
BEM SI juga menuntut agar mekanisme pengampunan tetap didasarkan pada prinsip keadilan hukum, bukan alat untuk membangun koalisi politik yang penuh kompromi.
Penjelasan Pemerintah: Demi Persatuan Nasional
Menanggapi kritik yang berkembang, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa keputusan Presiden Prabowo diambil dengan pertimbangan strategis demi persatuan nasional, khususnya menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
“Presiden ingin menciptakan rasa persaudaraan dan kondusivitas politik. Ini momentum untuk membangun bangsa bersama seluruh elemen, tanpa ada sekat politik lama,” jelas Supratman dalam konferensi pers di Kompleks DPR, Senayan.
Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, juga menegaskan bahwa keputusan ini merupakan langkah menyatukan kekuatan nasional guna menyongsong tantangan masa depan, baik dalam bidang ekonomi, geopolitik, maupun sosial-budaya.
Kesimpulan: Tarik Ulur antara Hukum dan Politik
Keputusan Presiden Prabowo dalam memberikan abolisi dan amnesti terhadap dua tokoh yang tersangkut kasus korupsi menjadi ujian awal bagi arah pemerintahannya. Di satu sisi, langkah ini bisa dipahami sebagai strategi merangkul semua kekuatan politik. Namun di sisi lain, publik dan akademisi menilai bahwa langkah tersebut bisa melemahkan supremasi hukum dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Apakah pengampunan ini akan menciptakan stabilitas politik atau justru membuka babak baru kritik terhadap kekuasaan? Hanya waktu yang akan menjawab.