14 Juni 2025
Pemerintah Cabut Empat dari Lima Izin Tambang Nikel di Raja Ampat, Hanya PT Gag Nikel yang Masih Boleh Beroperasi
Pemerintah secara resmi mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel yang beroperasi di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, pada Selasa, 10 Juni 2025. Satu-satunya perusahaan yang diizinkan tetap melanjutkan operasinya adalah PT Gag Nikel, yang berlokasi di Pulau Gag, sebuah wilayah dengan cadangan mineral tinggi namun juga memiliki nilai ekologis dan budaya yang penting.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa keputusan ini tidak diambil secara gegabah, melainkan berdasarkan kajian menyeluruh. Tiga aspek utama yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah aspek legal (kesesuaian izin dengan aturan perundang-undangan), aspek historis (rekam jejak dan kontribusi perusahaan terhadap daerah), serta hasil verifikasi lapangan yang melibatkan tim teknis dan independen.
“Dari lima IUP yang beroperasi di wilayah Raja Ampat, hanya satu yang memenuhi seluruh kriteria dan kewajiban yang ditetapkan pemerintah, yaitu PT Gag Nikel. Oleh karena itu, empat IUP lainnya resmi kami cabut,” ujar Bahlil dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta.
Lebih lanjut, Bahlil menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya penertiban sektor pertambangan nasional, khususnya dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Ia menyebut bahwa banyak izin tambang di kawasan timur Indonesia dikeluarkan tanpa analisis dampak lingkungan yang memadai dan seringkali menimbulkan konflik sosial.
Respon Organisasi Keagamaan: PBNU dan Muhammadiyah Angkat Suara
Keputusan pencabutan izin tambang ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk organisasi masyarakat sipil dan tokoh agama. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyambut baik kebijakan tersebut, dengan menyatakan bahwa penertiban tambang ilegal atau bermasalah merupakan bentuk keberpihakan negara terhadap kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Sementara itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mengapresiasi langkah pemerintah yang dianggap sejalan dengan prinsip keadilan ekologis. Menurut mereka, praktik tambang yang tidak berkelanjutan selama ini telah merusak lingkungan dan memperparah ketimpangan sosial di Papua. Muhammadiyah mendorong agar ke depan tidak hanya izin yang ditertibkan, tetapi juga dilakukan pemulihan ekosistem di wilayah-wilayah bekas tambang.
Baik PBNU maupun Muhammadiyah juga meminta agar pemerintah memastikan adanya transisi yang adil bagi masyarakat yang terdampak, termasuk tenaga kerja lokal yang kehilangan pekerjaan akibat pencabutan izin tersebut. Selain itu, kedua organisasi menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat adat dan tokoh lokal dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut tanah ulayat dan sumber daya alam di wilayahnya.
Komitmen Pemerintah: Tata Kelola Tambang Lebih Transparan dan Berkelanjutan
Menutup konferensi pers, Menteri Bahlil menyatakan bahwa pemerintah tengah menyusun regulasi baru untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas pertambangan di Indonesia, khususnya di wilayah yang sensitif secara ekologis seperti Papua, dilaksanakan secara bertanggung jawab dan transparan. Ia juga menegaskan bahwa penindakan terhadap pelanggaran di sektor ini akan terus berlanjut tanpa pandang bulu.
“Kita ingin tambang memberikan manfaat, bukan kerusakan. Kita ingin keadilan, bukan eksploitasi. Ini komitmen kami,” ujar Bahlil.
PBNU Apresiasi Pencabutan Empat Izin Tambang di Raja Ampat
PBNU Apresiasi Pencabutan IUP Tambang Nikel di Raja Ampat: Gus Ulil Soroti Pentingnya Keadilan dan Kelestarian Lingkungan
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdalla, menyampaikan apresiasi terhadap langkah tegas pemerintah dalam mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menyebut kebijakan yang diambil pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini sebagai bentuk keseriusan negara dalam menjawab aspirasi masyarakat serta menjaga kelestarian alam.
“Saya mengapresiasi pemerintahan Prabowo yang dengan cepat melakukan tindakan tegas mencabut IUP empat perusahaan dan memberikan pengawasan yang lebih ketat terhadap PT Gag Nikel yang masih beroperasi di sana,” kata Ulil dalam pernyataan di Jakarta, Rabu, 11 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.
Pria yang akrab disapa Gus Ulil itu menilai langkah tersebut merupakan perkembangan positif, terutama karena menunjukkan bahwa pemerintah mendengarkan dan merespons keluhan masyarakat yang terdampak oleh kegiatan pertambangan. Ia menegaskan bahwa prinsip dasar dalam pengelolaan sumber daya alam—terutama sektor tambang—haruslah bertumpu pada kepatuhan terhadap hukum dan keberpihakan terhadap kemaslahatan publik.
“Bagi PBNU, prinsip yang kita pegang adalah bahwa pengelolaan sumber daya alam, terutama pertambangan, harus dilakukan dengan prosedur yang sesuai aturan dan ditujukan untuk kemaslahatan publik,” ujarnya.
Terkait dengan masih beroperasinya PT Gag Nikel di Pulau Gag, Gus Ulil menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk memastikan bahwa perusahaan tersebut menjalankan kegiatan operasionalnya sesuai dengan ketentuan dan pengawasan ketat. Ia menekankan bahwa PBNU tidak menolak eksplorasi sumber daya alam, tetapi menuntut agar kegiatan tersebut dijalankan secara adil, transparan, dan berkelanjutan.
“PBNU tidak ingin eksplorasi sumber daya alam hanya menguntungkan segelintir kalangan atau kelompok tertentu, sementara rakyat luas tidak merasakan manfaatnya. Dan tentu saja aspek lingkungan itu penting sekali. Kita ingin tambang kita dikelola dengan benar, memperhatikan aspek lingkungan dan didasarkan pada prinsip keadilan serta kemaslahatan,” tegasnya.
Dengan pernyataan ini, PBNU menunjukkan dukungan moral kepada pemerintah sekaligus mengingatkan pentingnya tata kelola sumber daya yang inklusif dan ramah lingkungan. Gus Ulil menutup pernyataannya dengan harapan agar langkah serupa terus dilanjutkan di daerah lain yang menghadapi persoalan serupa, demi menjaga keberlanjutan alam Indonesia dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
PP Muhammadiyah Desak Pemerintah Cabut Seluruh IUP di Pulau Kecil
Muhammadiyah Desak Pemerintah Cabut Seluruh Izin Tambang di Pulau Kecil: “Bisa Jadi Bom Waktu Ekologis dan Sosial”
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menanggapi pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat dengan seruan yang lebih luas: pemerintah diminta mengevaluasi dan mencabut seluruh izin pertambangan yang berada di pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia. Desakan ini dinyatakan sebagai bagian dari komitmen Muhammadiyah dalam memperjuangkan keadilan ekologis, perlindungan lingkungan hidup, serta penghormatan terhadap hak-hak masyarakat pesisir dan adat.
Anggota Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah, Parid Ridwanuddin, menegaskan bahwa aktivitas pertambangan di pulau kecil secara hukum tidak memiliki tempat dalam kerangka hukum nasional. Ia merujuk pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang telah diperbarui melalui UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Pasal tersebut secara tegas melarang kegiatan pertambangan di pulau kecil. Artinya, jika pemerintah ingin benar-benar menegakkan hukum, maka seluruh izin pertambangan di pulau kecil seharusnya segera dievaluasi dan dicabut dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” ujar Parid melalui pesan tertulis, Rabu, 11 Juni 2025.
Parid mengingatkan bahwa hukum harus ditegakkan secara adil dan konsisten di seluruh wilayah Indonesia, tanpa adanya tebang pilih. Ia menyebut, berdasarkan data terbaru dari Yayasan Auriga Nusantara, saat ini terdapat izin usaha pertambangan di 214 pulau kecil dengan total luasan mencapai 390 ribu hektare, yang dikuasai oleh 303 perusahaan tambang. “Ini bukan angka kecil. Ini mencerminkan darurat ekologis yang sedang mengancam kita semua,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Kajian Politik SDA LHKP PP Muhammadiyah, Wahyu Perdana, menegaskan bahwa pencabutan empat IUP di Raja Ampat tidak boleh dimaknai sebagai langkah simbolis semata. Ia menolak apabila kebijakan itu hanya menjadi cara untuk memberikan waktu kepada perusahaan tambang guna melengkapi persyaratan administratif, lalu kemudian mendapatkan kembali izin dengan nama atau bentuk baru.
“Pemerintah tidak boleh menjadikan pencabutan ini sebagai sandiwara administratif. Kalau izin dicabut, maka harus benar-benar dicabut secara permanen,” tegas Wahyu.
Ia juga menyoroti dampak nyata yang ditimbulkan oleh pertambangan di pulau kecil. Menurutnya, pulau-pulau kecil memiliki kerentanan ekologis yang sangat tinggi. Aktivitas pertambangan di wilayah-wilayah tersebut bisa menjadi bom waktu yang akan memicu bencana ekologis dan sosial-ekonomi dalam skala besar. “Kita bicara tentang kemungkinan kerusakan permanen terhadap lingkungan, rusaknya mata pencaharian masyarakat lokal, dan bahkan munculnya gelombang pengungsi ekologis dari wilayah pesisir,” katanya.
Wahyu menambahkan bahwa dampak terberat justru akan dirasakan oleh kelompok rentan, seperti perempuan adat, perempuan pesisir, dan anak-anak. Mereka akan kehilangan ruang hidup, ruang sosial, serta akses terhadap sumber daya alam yang menjadi penopang kehidupan sehari-hari. Ia menyatakan bahwa jika ini dibiarkan, maka pemerintah turut melanggar prinsip-prinsip Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang menjamin keadilan ekologis bagi perempuan dan kelompok marjinal.
“Jika pertambangan tetap dipaksakan di pulau kecil dan berdampak pada hilangnya ruang hidup perempuan dan anak, maka ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan merupakan kejahatan ekologis,” tegas Wahyu.
Muhammadiyah Tegaskan Komitmen pada Keadilan Ekologis
Baik Parid maupun Wahyu menegaskan bahwa posisi Muhammadiyah dalam isu ini sangat jelas: tidak boleh ada kompromi terhadap kerusakan lingkungan, terlebih jika itu terjadi di wilayah-wilayah rentan seperti pulau-pulau kecil. Mereka menyerukan agar pemerintah tidak berhenti pada Raja Ampat, melainkan memperluas tindakan hukum terhadap seluruh wilayah yang terindikasi melanggar undang-undang yang berlaku.
“PP Muhammadiyah menggarisbawahi bahwa keadilan ekologis adalah keniscayaan yang harus dirasakan seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Bahkan di wilayah terluar sekalipun,” pungkas Parid.